PECUNDANG
Akhirnya aku kembali ke tempat ini. Aku tidak bisa menahan perasaanku untuk tidak menemuinya lagi. Aku hanya ingin melihatnya dari jarak yang agak jauh, dari tempat yang agak terlindung. Dari balik malam, dengan leluasa aku bisa melihatnya tertawa dan tersenyum --tawa dan senyum yang dibuat-buat-- di hadapan para tamu.Tempat dia duduk menunggu tamu cukup terang bagi mataku, meski tempat itu hanya ditaburi cahaya merah yang redup. Aku masih bisa merasakan pancaran matanya yang pedih. Aku merasa dia sedang memperhatikan aku. Aku berusaha bersembunyi di balik kerumunan para pengunjung yang berseliweran di luar ruangan. Tapi sejenak aku ragu, apakah benar dia melihatku? Ah, jangan-jangan itu hanya perasaanku saja. Aku yakin dia kecewa dengan aku. Dia kecewa karena aku gagal membawanya pergi dari tempat ini.Hampir setiap malam aku mengunjungi tempat ini hanya untuk melihatnya dari kegelapan dan memastikan dia baik-baik saja. Aku seperti mata-mata yang sedang mengintai mangsanya. Atau mungkin aku seorang pengecut yang tidak berani menunjukkan batang hidung setelah kegagalan yang menyakitkan hatiku. Atau bisa jadi aku telah menjadi pecundang dari kenyataan pahit ini.Biasanya aku akan datang sekitar jam delapan malam. Aku memarkir motor di kegelapan dan berjalan perlahan menuju tempat dia biasa menunggu tamu. Jelas aku tidak akan berani masuk ke dalam ruangan yang pengab dengan asap rokok dan bau minuman itu. Aku terlanjur malu dengan dia. Makanya, aku hanya berani berdiri di luar, di dalam kegelapan, dengan tatapan mata yang sangat awas yang tertuju pada ruangan di mana dia duduk santai sambil mengepulkan asap rokoknya.Seringkali aku dibakar api cemburu ketika ada lelaki yang menghampirinya dan merayunya. Api cemburu itu semakin menjadi-jadi ketika dia juga meladeni lelaki yang merayunya dengan senyum dan tawa. Dan hatiku benar-benar hangus ketika kulihat dia masuk ke dalam biliknya ditemani lelaki itu. Saat itu juga batok kepalaku dipenuhi berbagai pikiran-pikiran buruk. Ya, sudah jelas, di dalam bilik sederhana itu mereka akan bergulat, bergumul, dan saling terkam dalam dengus napas birahi.Ah, sebenarnya tidak begitu. Itu hanya pikiran-pikiran burukku saja. Aku tahu dia perempuan lugu yang terjebak dalam situasi seperti itu. Semacam anak kijang yang masuk perangkap pemburu.Aku merasa aku telah jatuh hati padanya. Kamu tahu, bagaimana proses jatuh hati itu kualami? Baiklah, akan kuceritakan untukmu. Saat itu aku diajak oleh kawan karibku datang ke tempat ini. Kawanku itu menemui langganannya. Sedang aku hanya bengong-bengong di ruangan sambil minum kopi. Seorang ibu paruh baya menghampiriku. Dengan mata genit ibu itu mengatakan padaku kenapa aku tidak masuk kamar? Aku bilang bahwa aku lagi ingin sendiri, lagi ingin menikmati suasana saja. Ibu itu mengatakan ada yang baru, masih belia, baru datang dari kampung. Ibu itu bilang usianya baru 15 tahun. Dalam hati aku tertarik juga dengan perkataan ibu itu. Wah, masih belia sekali? Aku jadi ingin tahu kayak apa perempuan yang dibilang belia itu? Ibu tua itu kemudian memanggil dia.Sehabis mandi, ibu tua itu mengantar perempuan itu kepadaku. Dengan malu-malu perempuan ingusan itu duduk di sebelahku. Dia hanya diam dan tidak berkata-kata. Wajahnya manis dan memang masih bau kencur. Entah anak siapa yang disesatkan ke tempat seperti ini. Ibu tua itu menyuruhku segera mengajaknya masuk kamar, tentu dengan tarif khusus, lebih mahal dari biasanya.Di dalam kamar, perempuan itu masih diam, tak banyak bicara. Dari wajah kekanak-kanakannya terpancar perasaan cemas dan keragu-raguan. Aku jadi iba melihat tingkahnya yang memelas itu. Aku segera mencegah saat dia hendak melucuti busananya. Dia bingung dengan tingkahku."Saya harus melayani tamu saya," jelasnya."Aku tak perlu dilayani. Aku hanya ingin ngobrol denganmu. Dan aku akan tetap membayar sesuai tarif yang telah disepakati," ujarku.Aku menatap wajah yang lugu itu. Entah kenapa aku jadi tidak tega dan merasa simpati dengan dia. Mungkin aku terjebak pada pancaran matanya yang begitu diliputi kepolosan sekaligus kecemasan. Aku telah mengenal sejumlah perempuan yang bekerja seperti ini. Tapi dengan perempuan satu ini, aku merasakan dalam diriku bangkit suatu keinginan menjadi hero, ingin menyelamatkannya.Aku mendekapkan kepalanya ke dadaku. Aku membelai-belai rambutnya yang sebahu. Tiba-tiba saja aku merasa menjadi seorang kakak yang ingin melindungi adiknya dari segala marabahaya."Mengapa kamu bisa berada di tempat seperti ini?" tanyaku lirih. "Seharusnya kamu menikmati masa-masa sekolahmu, seperti teman-temanmu yang lain.."Perempuan itu diam dan menatapku lembut."Saya tidak tahu, Mas. Saya diajak oleh tante saya ke sini. Saya dijanjikan pekerjaan dengan gaji yang menggiurkan. Tapi ternyata saya dijebak di sini oleh tante saya sendiri."Aku kaget mendengar pengakuannya yang memilukan itu. Diam-diam dalam hatiku, rasa kasihan perlahan menjelma rasa simpati dan keinginnan untuk mengasihinya."Kamu ingin pergi dari tempat ini?""Ya, jelas, Mas. Tapi bagaimana caranya saya bisa pergi dari sini?""Aku akan ngomong sama bosmu.""Mustahil, Mas!""Mengapa mustahil?""Mas tidak paham situasi di sini. Sekali perempuan terjebak dalam tempat ini, maka seumur hidup akan berkubang di sini.""Tidak. Aku akan menyelamatkanmu. Kamu harus melanjutkan sekolahmu. Dan kamu mesti cari kerja yang lebih bagus dari kerja begini."Perempuan bau kencur itu menundukkan kepalanya. Matanya memancarkan harapan, harapan bagi sebuah kebebasan.Aku cium keningnya. Aku bisikkan beberapa patah kata agar dia bersabar dan tabah. Aku ke luar dari bilik dengan perasaan gundah."Gimana, Mas? Bagus, kan?" Ibu paruh baya itu berdiri di depan pintu dan mengerlingkan mata genit ke arah mataku.Tiba-tiba saja aku ingin muntah melihat tampang ibu genit itu."Aku ingin ngomong sama bosmu," ujarku dengan nada agak geram."Ada apa, Mas? Apa servisnya tidak memuaskan ya...? Wah, kalo gitu saya akan lapor ke bos.""Jangan. Bukan masalah itu. Ada yang aku ingin bicarakan sama bosmu. Tolong panggil dia."Perempuan paruh baya kepercayaan bos itu tergopoh-gopoh menemui bosnya. Tak berapa lama, dia muncul kembali mengiringi perempuan agak gembrot dengan wajah menyiratkan kelicikan."Ada apa, Mas? Apa dia tidak melayani Mas dengan baik?""Bukan masalah itu, Bu. Kira-kira kalau aku ingin mengajak dia keluar dari sini, gimana?"Wajah perempuan gembrot yang licik itu seketika berubah curiga."Maksud Mas gimana?""Aku ingin mengajak dia pergi dari sini.""Kalau begitu Mas harus menebusnya Rp 5 juta, gimana?"Aku terkesiap. Gila benar si gembrot ini. Mengapa aku mesti menebusnya sebanyak itu? Bukankah setiap orang berhak memilih kebebasannya?"Kenapa aku mesti menebus sebanyak itu? Dia bukan barang mati. Dia manusia yang memiliki kebebasannya," ujarku geram.Si gembrot tersenyum sinis."Mas ini kayak tidak mengerti aja. Dia berada di bawah pengawasan dan tanggung jawab saya. Tantenya telah menitipkan dia pada saya.""Kalau begitu, kamu tidak berhak menjual dia dengan mempekerjakan dia sebagai pelacur," ujarku semakin geram melihat tingkah si gembrot."Hidup makin sulit Mas. Semua orang perlu uang dan sekarang ini segala sesuatu diukur dengan uang. Begini saja Mas. Kalau Mas mau membawa dia, maka Mas sediakan uang Rp 5 juta. Itu saja."Si gembrot sambil menggerutu pergi meninggalkan aku yang masih terbengong-bengong. Sejenak aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Aku pun pergi meninggalkan tempat itu dengan perasaan luka. Sepintas kulihat mata perempuan yang ingin kuselamatkan itu berkilat basah menatap kepergianku.Beberapa hari kemudian aku berusaha mendapatkan uang sebanyak itu untuk menebus dia. Aku berusaha meminjam kepada kawan-kawanku. Namun usaha kerasku hanya berbuah kesia-siaan. Aku hanya bisa mengumpulkan Rp 2 juta. Aku kembali ke tempat itu dan mencoba tawar-menawar dengan si germo gembrot, tapi sia-sia belaka. Si gembrot tetap pada pendapatnya semula.Aku merasa kecewa dengan diriku sediri. Aku tidak berdaya menyelamatkan dia. Aku tidak habis-habisnya mengutuki diriku sendiri, mengapa aku tidak berkesempatan jadi orang kaya.Maka seperti saat ini, setiap malam aku hanya bisa menatap dia dari kegelapan malam. Sambil menahan hatiku yang hampir hangus dibakar cemburu, aku melihat dia bercengkerama dengan para tamu. Sepertinya dia bahagia dengan pekerjaan yang dijalaninya. Setiap melihat senyum dan tawanya, aku merasa bersalah sekaligus kecewa dengan diriku sendiri. Pada akhirnya aku hanya jadi pecundang.Menu Makan Malam
Sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadiIbu bersumpah untuk membangun keluarganya di atas meja makan. Ia terobsesi mewujudkan keluarga yang bahagia melalui media makan bersama. Maka, ia menghabiskan hidupnya di dapur, memasak beribu-ribu bahkan berjuta-juta menu makanan hanya untuk menghidangkan menu masakan yang berbeda-beda setiap harinya. Ia memiliki jutaan daftar menu makan malam di lemari dapurnya. Daftar itu tersusun rapi di dalam sebuah buku folio usang setebal dua kali lipat kamus besar Bahasa Indonesia, berurut dari menu masakan berawal dengan huruf A hingga Z. Ia menyusun sendiri kamus itu sejak usia perkawinannya satu hari hingga kini menginjak usia 25 tahun. Di sebelah kamus resep masakan itu, bertumpuk-tumpuk pula resep masakan dari daerah Jawa, Madura, Padang, bahkan masakan China. Belum lagi kliping resep masakan dari tabloid-tabloid wanita yang setebal kamus Oxford Advanced Learner.Isi kepala Ibu memang berbeda dengan ibu lain. Dalam kepalanya seolah hanya ada tiga kata, menu makan malam. Setiap detik, setiap helaan napasnya, pikirannya adalah menu-menu masakan untuk makan malam saja. Makan malam itulah ritual resmi yang secara tersirat dibikinnya dan dibuatnya tetap lestari hingga saat ini. Meskipun, ketiga anaknya telah beranjak dewasa, ia tak pernah surut mempersiapkan makan malam sedemikian rupa sama seperti ketika ia melakukannya pertama, sejak usia pernikahannya masih satu hari.Keluarga ini tumbuh bersama di meja makan. Mereka telah akrab dengan kebiasaan bercerita di meja makan sambil menikmati menu-menu masakan Ibu. Mereka berbicara tentang apa saja di meja makan. Mereka duduk bersama dan saling mendengarkan cerita masing-masing. Tak peduli apakah peristiwa-peristiwa itu nyambung atau tidak, penting bagi yang lain atau tidak, pokoknya bercerita. Yang lain boleh menanggapi, memberi komentar atau menyuruh diam kalau tak menarik. Muka-muka kusut, tertekan, banyak masalah, stres, depresi, marah, kecewa, terpukul, putus asa, cemas, dan sebagainya, bisa ditangkap dari suasana di atas meja makan. Sebaliknya muka-muka ceria, riang, berseri, berbunga-bunga, jatuh cinta, juga bisa diprediksi dari ritual makan bersama ini. Ibu yang paling tahu semuanya.Ia memang punya kepentingan terhadap keajegan tradisi makan bersama ini. Satu kepentingan saja dalam hidupnya, memastikan semua anggota keluarganya dalam keadaan yang ia harapkan. Bagi Ibu, sehari saja ritual ini dilewatkan, ia akan kehilangan momen untuk mengetahui masalah keluarganya. Tak ada yang bisa disembunyikan dari momen kebersamaan ini. Dan kehilangan momen itu ia rasakan seperti kegagalan hidup yang menakutkan. Ia tak mau itu terjadi dan ia berusaha keras untuk membuat itu tak terjadi.Ia tak berani membayangkan kehilangan momen itu. Sungguh pun tahu, ia pasti menghadapinya suatu saat nanti, ia merasa takkan pernah benar-benar siap untuk itu. Yang agak melegakan, semua anggota keluarganya telah terbiasa dengan tradisi itu dan mereka seolah menyadari bahwa Ibu mereka memerlukan sebuah suasana untuk menjadikannya "ada". Semua orang tahu dan memakluminya. Maka semua orang berusaha membuatnya merasa "ada" dengan mengikuti ritual itu. Namun, kadang beberapa dari mereka menganggap tradisi ini membosankan.***Jam empat pagi. Ibu telah memasak di dapur. Ia menyiapkan sarapan dengan sangat serius. Ibu tak pernah menganggap memasak adalah kegiatan remeh. Ia tak pernah percaya bahwa seorang istri yang tak pernah memasak untuk keluarganya adalah seorang Ibu yang baik. Jika ada yang meremehkan pekerjaan memasak, Ibu akan menangkisnya dengan satu argumen: masakan yang diberkahi Tuhan adalah masakan yang lahir dari tangan seorang Ibu yang menghadirkan cinta dan kasih sayangnya pada setiap zat rasa masakan yang dibikinnya. Ibu meyakini bahwa makanan adalah bahasa cinta seorang Ibu kepada keluarganya, seperti jembatan yang menghubungkan batin antarmanusia. Sampai di sini, anak-anaknya akan berhenti mendengar penjelasan yang sudah mereka hapal di luar kepala. Ibu takkan berhenti bicara kalau kedamaiannya diusik. Dan yang bisa menghentikannya hanya dirinya sendiri.Sarapan tiba. Ibu menyiapkan sarapan di dapur. Ia menyiapkan menu sesuai dengan yang tertera di daftar menu di lemari makanan. Telur dadar, sayur hijau dan sambal kecap. Ada lima orang di keluarganya. Semua orang memiliki selera berbeda-beda. Suaminya suka telur yang tak matang benar, agak asin, tanpa cabe. Aries suka telur yang benar-benar tergoreng kering, dan harus pedas. Pisca, suka makanan serba manis. Telur dadarnya harus setengah matang dengan kecap manis dan sedikit vitsin. Sedangkan Canestra, tak suka pada kuning telur. Sebelum didadar, kuning telur harus dipisahkan dulu dari putihnya. Jika tidak dibuatkan yang sesuai dengan pesanannya, ia bisa mogok makan. Berhari-hari.Bagaimana dengan Ibu? Ibu bahkan tak pernah macam-macam. Telur dadarnya adalah yang standar, tidak ada perlakuan khusus. Ia boleh makan apa saja, yang penting makan, jadilah.Pukul 07.05. Telur dadar setengah matang asin, telur dadar pedas, telur manis dengan vitsin, dan telur tanpa kuning, berikut sayur hijau dan sambal kecap telah terhidang. Semua telah menghadapi hidangan masing-masing sesuai pesanan. Makan pagi biasanya tak ada yang terlalu banyak bicara. Semua sibuk dengan rencana masing-masing di kepalanya. Kelihatannya, tak ada yang ingin berbagi. Aries kini sudah bekerja di sebuah kantor pemerintah, menjadi tenaga honor daerah. Ia harus tiba di kantor setidaknya pada tujuh dua lima, karena ada apel setiap tujuh tigapuluh. Pisca harus ke kampus. Ia duduk di semester tujuh kini. Tampaknya sedang tak bisa diganggu oleh siapa pun. Wajahnya menunjukkan demikian. Mungkin akan bertemu dengan dosen pembimbing atau entah apa, tapi mukanya keruh. Mungkin banyak persoalan, tapi Ibu cuma bisa memandang saja. Sedang Canestra masih di SMA. Ia tampak paling santai. Tangannya memegang komik. Komik Jepang. Makan sambil membaca adalah kebiasaannya. Sang Bapak, duduk diam sambil mengunyah makanan tanpa bersuara dan tanpa menoleh pada yang lain. Pria yang berhenti bekerja beberapa tahun lalu itu tampak lambat menyelesaikan makannya. Ia menikmati masakan itu, atau tidak peduli? Tak ada yang tahu.Satu per satu mereka meninggalkan ruang makan. Hanya piring-piring kotor yang tersisa di meja makan. Ibu membawanya ke dapur, mencuci piring-piring itu sampai bersih dan mengelap meja makan. Ritual berikutnya adalah menyerahkan anggaran belanja ke pasar hari itu kepada suaminya. Saat-saat inilah yang paling ia benci seumur hidupnya. Ia benci menerima uang dari suaminya yang selalu tampak tak rela dan tak percaya.Akhirnya, memang bahan-bahan menu itu dipangkas seenak udelnya, ia tak mau tahu apa pun. Ujung-ujungnya ia cuma memberi sepuluh ribu saja untuk semua itu. Tentu saja kurang dari anggaran yang seharusnya, dua puluh ribu. Untuk itu semua, maka otomatis menu berubah; tak ada ayam bumbu rujak, tak ada capcay, yang ada tinggal perkedel jagung dan tempe. Sayur hijau, katanya, bolehlah. Yang penting sayur, dan murah. Ah…Ibu berjalan ke pasar dengan gontai. Hari itu Jumat. Hari pendek. Anak-anak akan pulang lebih cepat dari biasa. Ia mempercepat langkahnya. Tak mudah membagi waktu, kadang pekerjaan teramat banyaknya sampai-sampai tak ada waktu untuk melakukan hal lain selain urusan dapur. Kadang ia berpikir ada sesuatu yang memang penting untuk dilakukan tapi itu akan mengabaikan urusan dapur dan itu berarti pula mengabaikan selera anak-anaknya. Itu tidak mungkin. Tak ada yang mengerti selera anak-anaknya kecuali dia.Tapi kadang ia bosan berurusan dengan menu-menu. Ia telah mencoba semua menu yang ada di buku-buku masakan, ia telah mencoba semua resep masakan di teve, dan ia kehabisan ide suatu ketika. Ia mencatat menu-menu yang sudah pernah dibikinnya. Serba-serbi sambal: sambal goreng krecek, sambal goreng hati, sambal godog, sambal kentang, sambal bawang, sambal kecicang, sambal serai, dll. Aneka ca, semacam: ca sawi, ca kangkung, ca bayam, ca tauge, ca bunga kol, dll. Semua jenis perkedel dan gorengan kering: perkedel ketimun, perkedel kentang, perkedel jagung, pastel kentang, kroket kentang, dan seterusnya. Sampai makanan golongan menengah dilihat dari mahalnya bahan pokok semacam: babi kecap, gulai kare ayam, gulai udang, sate bumbu rujak, opor ayam, sup kaki ayam dengan jamur tiongkok, dendeng sapi, kepiting goreng. Juga serba-serbi makanan China semacam: shiobak, koloke, fuyung hai, ang sio hie, hao mie, tao mie, dan seterusnya. Daftar ini masih akan bertambah panjang kalau disebutkan serba-serbi pepes, serba-serbi urap, atau serba-serbi ikan.Semua menu sudah dicobanya habis tak bersisa, tapi sepertinya masih saja ada sesuatu yang kurang. Ia pun lebih kerap berkreasi, satu menu masakan kadang-kadang dipadu dengan menu masakan lain, misalnya pepes tempe, gulai pakis, sate tahu, dan sebagainya. Tapi masih saja menu-menu itu terasa tak cukup untuk membuat variasi menu yang berbeda setiap harinya. Karena itulah yang akan membuat keluarganya betah dan merindukan makan malam.Ia pernah merasa ingin berhenti saja memikirkan menu-menu itu, tapi suaminya akan berkata, "Kau telah memilih menjadi perempuan biasa-biasa saja, tidak bekerja dan melayani keluarga. Bahkan kau bersumpah akan membangun keluarga di atas meja makan, kenapa tidak kau pikirkan sebelumnya?"Ibu merenungkan kata-kata suaminya. Ada yang salah terhadap penilaian-penilaian. Ada yang tak adil di dalamnya. Hampir selalu, yang menjadi korban adalah mereka yang dinilai, mereka yang tertuduh, mereka yang melakukan sesuatu tapi dinilai salah dan dianggap biasa-biasa saja. Tapi apa sesungguhnya yang terjadi dengan biasa dan tak biasa? Apa yang menentukan yang biasa dan yang tak biasa? Menjadi Ibu adalah sangat luar luar luar biasa. Apakah seorang ibu rumah tangga yang mencurahkan seluruh hidupnya untuk keluarga lebih biasa daripada seorang ibu yang tak pernah sekalipun berpikir tentang keluarganya, meski ia punya tujuh perusahaan dan kaya raya? Lagipula, itu cuma perasaan, bukan angka-angka dalam matematika, namanya juga perasaan. Tercium bau hangus. Ibu tersentak dari lamunannya. Tempenya gosong.Ia menyudahi goreng-menggoreng tempe itu. Lalu dengan bergegas ia menyambar sekeranjang cucian kotor, mulai mencuci. Anaknya datang satu per satu. Ibu belum selesai mencuci. Ia agak tergesa karena harus menyiapkan makan siang untuk anak-anaknya. Setelah menyiapkan makan siang, ia kembali bekerja, menyelesaikan cucian.Makan siang Ibu adalah jam 3 sore. Setelah itu, ia tidur dua jam. Sehabis jam 5 sore, sehabis tidur siangnya, ia harus menyiapkan makan malam. Sehabis makan malam, jangan kira ia selesai. Ada Bapak yang setiap hari minta dipijit, tapi setiap hari mengeluh pijitan Ibu tak pernah mengalami kemajuan. Ah…Dia melakukannya selama sisa hidupnya. Ia berkutat dengan semua itu selama puluhan tahun, tak pernah ada yang memujinya, dan ia pun tak ingin dipuji, tapi itukah yang disebut perempuan biasa?Suatu ketika, sebuah peristiwa datang mengusik keluarga itu.Hari itu Selasa, ketika sebuah perubahan memperkenalkan dirinya kepada keluarga itu. Aries menolak makan bersama. Ia tentu punya alasan di balik aksi mogoknya. Tapi tak ada yang tahu apa alasan Aries.Ibu kecewa. Menu makan malamnya tak dicicipi selama tiga hari berturut-turut. Ini adalah beban mental bagi seorang Ibu. Ia bukanlah orang yang suka memaksa, tapi selalu membaca dari tanda-tanda dan suka juga menebak-nebak. Sialnya, Aries tak pernah memiliki cukup waktu untuk menjelaskan semua itu. Ia tampak begitu sibuk. Kadang ia bahkan terlihat menyibukkan diri, menghindar dari Ibu. Ia menomorduakan ritual makan malam mereka. Ibu menangis, ia merasa segala usahanya untuk membangun tradisi makan malam ini sia-sia saja. Salahkah jika ia berusaha membikin sesuatu yang kelak retak menjadi abadi? Mungkin memang salah, tapi dulu tak seorang pun cukup berani menunjukkan di mana letak salahnya, tak seorang pun tega mengecewakan Ibu. Tapi Aries, kini telah membuatnya kecewa secara nyata.Suasana menjadi semakin keruh ketika di hari kelima, keenam dan ketujuh, Aries juga absen makan malam.Ibu bertindak. Ia masuk ke kamar si sulung, lalu, mungkin, bicara di sana. Pisca dan Canestra duduk di depan tivi, tidak mendengar apa-apa.Satu jam kemudian, Ibu keluar dengan wajah murung, tapi dibikin agar kelihatan berseri. Ia tampak aneh."Aku tahu selama ini kita tak pernah jujur dengan makan malam itu. Satu-satunya yang jujur hanya dia. Kita semua sudah bosan, ya kan? Ibu juga. Dan mulai saat ini, tidak ada lagi kebohongan apa pun. Tinggalkan saja jika kalian memang tak setuju. Ibu juga sudah lelah memikirkan menu-menu makan malam untuk kalian. Ibu ingin merasa tidak perlu menyiapkannya untuk kalian. Ibu akan mencoba. Selamat bersenang-senang!"Ibu terlihat enteng menyelesaikan persoalannya. Bapak menyusul Ibu ke kamar. Mudah-mudahan mereka bercinta. Ah ya mereka sepertinya tak pernah bercinta lagi sejak beberapa tahun ini. Padahal itu perlu, terutama bagi Ibu yang lelah luar biasa. Fisik dan jiwa.Pisca menyelinap masuk ke kamar Aries, meninggalkan Canestra yang masih asyik nonton tivi. Ia sungguh ingin tahu, apa yang dibicarakan Ibu dan Aries, sehingga Ibu keluar dengan wajah aneh, murung tapi dipaksakan berseri. Pisca bertanya, "Ada apa?" Aries tak menjawab, namun tiba-tiba menangis dan menenggelamkan wajahnya di bawah bantal. Dengan sesenggukan, ia berkata, "Untuk apa lagi mempertahankan sebuah kepalsuan di depan Ibu? Salah satu dari kita semua telah mengkhianati Ibu, untuk apa lagi semua ini dipertahankan?"Pisca menangkap ucapan kakaknya dengan jelas, namun ia tak mengerti, dan tak ingin mengerti, karena semua itu terlalu menyedihkan baginya. Apalagi yang lebih menyedihkan ketika tahu seseorang telah berkhianat kepada Ibu? Siapa pun dia, Pisca tak ingin tahu. Ia tak ingin mendendam, apalagi terhadap keluarganya sendiri. Tapi, bukankah Ibu selalu tahu apa yang terjadi? Semua pertanyaan bertumpuk-tumpuk di kepalanya.Sesuatu yang kelak retak, yang Ibu pernah berusaha membikinnya abadi, kini sudah benar-benar retak berkeping-keping dan tak mungkin disatukan lagi. Sejak saat itu, makan malam bersama tidak rutin lagi bagi mereka. Hanya Ibu yang masih betah di sana. Sesekali Pisca atau Canestra mendampinginya. Mungkin tiba saat ketika ia benar-benar rindu makan malam bersama.Sialnya, Bapak benar-benar tak memahami persoalan dengan baik. Ia sok bijak dan pandai. Kata-katanya sungguh tak tepat untuk menggambarkan seluruh keadaan ini."Benar kan, Ibumu memang perempuan biasa-biasa saja. Ia bahkan menganggap hal remeh ini sebagai kiamat dalam hidupnya!"Pisca meradang. Ia merasa Bapak yang sombong itu harus dihentikan."Apa yang biasa? Apa yang tak biasa? Bapak juga laki-laki biasa, yang tak bisa seperti Ibu. Bapak jauh lebih biasa dari Ibu. Ibu, setidaknya berusaha membikin tradisi agar kita tahu arti kebersamaan sekalipun di atas meja makan. Tapi lihatlah Bapak yang hanya suka mengejek tapi tak pernah melakukan apa pun, bahkan tak pernah berusaha melakukan apa pun!"Bapak diam. Dia kelihatan tersinggung. Tapi Pisca suka dan puas membuatnya tersinggung. Pisca memutuskan untuk menemui Ibu. Ibu menyambutnya dengan senyum. Ia tahu Pisca akan berbicara soal Bapak, soal biasa dan tak biasa. Ibu mencegahnya bicara lebih dulu, "Begini. Bapak benar soal Ibu yang biasa-biasa saja. Ini sudah seharusnya. Ibu menerima semua itu, bukan karena Ibu pasrah tapi Ibu mengerti betul kalian semua dan juga persoalan ini. Ibu memang perempuan biasa, tak ingin menjadi yang tak biasa. Ibu mencintai Bapak, kalian semua. Ibu tak bisa memberi uang, maka Ibu cuma memberi kemampuan Ibu memasak, itu pun jika kalian mau menikmatinya.""Tapi Bu, ini penghinaan. Masalah makan malam itu bukan masalah sekadar, bukan masalah remeh temeh. Sebesar itu usaha Ibu membangun tradisi kebersamaan di keluarga kita, tapi Bapak bahkan menganggapnya tak ada. Kita belajar satu sama lain di meja makan itu, kita memutuskan hidup kita di atas meja makan itu, dan ingat, ketika Bapak berhenti bekerja di kantor karena penyelewengan dana yang sangat memalukan itu, yang menolong Bapak adalah kita, juga di atas meja makan itu.""Bapak kini sedang merasa kesepian, ia kehilangan saat-saat terbaiknya, itu hal tersulit yang pernah ditemuinya. Kita harus memahami itu."Dari beranda, Bapak mendengar semua percakapan itu. Ia berpikir bahwa istrinya memang baik, pengertian dan sabar, tapi sungguh ia sangat biasa, dan yang terpenting, tak menggairahkan.
TANGISAN YANG MENGAKHIRI SEBUAH KEHIDUPAN
Tuan Zaidi, merupakan seorang ahli perniagaan melayu yang terkenal di Singapura. Sebut sahaja namanya semua kawan kawannya sudah tahu yang dia mempunyai empat orang isteri yang cantik cantik belaka.
Alasan yang diberikan apabila ditanya mengapa beliau beristeri sampai empat orang pasti jawapannya ialah dia mahukan zuriat namun malangnya sampai sekarang pun isteri isterinya masih tidak dapat menunaikan apa yang diidamkannya itu.
Tuan Zaidi seolah olah sudah berputus asa, memandangkan umurnya yang sudah pun menjangkau ke usia tujuh puluh tahun, tentunya dia memerlukan sekurang kurangnya seorang pewaris yang dapat mengendalikan perniagaannya itu.
Pagi itu seperti biasa Tuan Zaidi kepejabatnya menaiki kereta mewahnya, Rolls Royce yang dipandu oleh drivernya, Pak Mat meninggalkan perkarangan banglo mewahnya yang dua tingkat itu.
Tuan Zaidi tidak pasti kenapa sejak kebelakangan ini hatinya begitu sunyi sekali walaupun hidupnya mewah, berumah besar, berkereta besar, dikelilingi oleh empat orang isteri yang cantik tetapi kehidupannya menjadi begitu suram sekali.
“Tuan, boleh saya tanya kenapa Tuan nampak berlainan sekali pagi ini?’’ Pak Mat memulakan bicaranya setelah dilihatnya keadaan Tuan Zaidi yang agak murung pada pagi yang nyaman itu.
“Mat, saya kaya, ada banyak harta, ada ramai isteri, ada beberapa buah kereta dan rumah tapi sejak dah tua ni, saya rasa jiwa saya semakin kosong dan tak pernah tenang. Kenapa ya Mat? Kadang kadang saya rasa lebih baik hidup macam awak, walaupun miskin tapi amat bahagia sekali saya tengok.”
“Sebenarnya Tuan, kebahagiaan bukanlah terletak pada kemiskinan atau kekayaan tetapi sebaliknya ia terletak dalam diri kita sendiri Tuan.” Jawab Pak Mat ringkas. Tuan Zaidi mendengarkan sahaja jawapan Pak Mat itu tanpa sebarang reaksi, sebaliknya fikirannya terus melayang mengenangkan telatah dan kerenah keempat empat isterinya itu.
Tuan Zaidi tersangat sayangkan isteri keempatnya, Suzanna. Tuan Zaidi selalu menghiaskannya dengan pakaian yang serba mahal lagi ekslusif, serta menjamu seleranya dengan berbagai jenis makanan yang serba lazat. Dia terlalu mengambil berat terhadap isteri keempatnya itu dengan memberinya segala apa yang terbaik sahaja dan tidak pernah menolak segala kehendaknya.
TANGISAN YANG MENGAKHIRI SEBUAH KEHIDUPAN 2
Zaidi kelihatan termangu, melayani perasaan masing masing.
“Siapa waris kepada Encik Zaidi bin Omar?” Tiba tiba seorang doktor melayu yang baru keluar dari wad ICU bertanya. “Saya”. Keempat empat isteri Tuan Zaidi menjawab secara serentak. “Saya perlukan hanya seorang waris sahaja untuk menandatangani surat kebenaran pembedahan ini.” Kata doktor itu lagi.
Masing masing tercengang dan saling berpandangan antara satu sama lain, apabila doktor menerangkan yang Tuan Zaidi perlu dibedah dengan segera kerana dia mengalami barah paru paru yang amat serius sekali. Memandangkan Fatimah, isteri yang pertama jadi dialah yang lebih berhak untuk menandatangani surat kebenaran tersebut.
Penantian itu suatu penyiksaan buat keempat empat isteri Tuan Zaidi dan juga Pak Mat. Fatimah berdoa didalam hatinya,”Ya Allah, Kau selamatkanlah suamiku ini. Kau sembuhkanlah penyakitnya itu. Aku pohon padamu dengan sepenuh hatiku. Kau tolonglah aku Ya Allah.” Sehingga pukul 9.00 malam masih belum mendapat apa apa berita dari bilik pembedahan.
Tiba tiba,”Puan puan semua, saya mohon maaf bagi pihak hospital. Kami sudah berusaha semampu kami tapi nampaknya penyakit suami puan sudah terlalu serius. Jadi saya sarankan supaya puan puan semua bawalah dia pulang sahaja.”
Mendengar kata kata doktor itu, mereka semuanya menangis hiba…..
Selang beberapa bulan kemudianTuan Zaidi merasakan yang dia akan menemui ajalnya dalam jangkamasa yang terdekat. Dia pun mula memikirkan tentang segala kemewahan hidupnya selama ini dan mula berfikir, "Sekarang aku ada 4 isteri, tapi bila aku mati nanti aku akan tinggal keseorangan. Alangkah sunyinya aku nanti!"
Dia pun memanggil keempat empat isterinya satu persatu. Mula mula dipanggil isterinya yang keempat. "Abang sayangkan Anna melebihi daripada isteri isteri Abang yang yang lain. Abang beri Anna pakaian yang istimewa dan paling berharga, serta berbagai bagai kemewahan yang lain. Sekarang Abang dah terlantar sakit dan akan mati tak lama lagi, hanya satu yang Abang nak Tanya. Adakah Anna akan ikut sama untuk menemani Abang?"
"Tak mungkin. Abang dah mati dan Anna masih lagi hidup. Mana ada orang yang masih hidup ikut masuk dalam kubur sama sama dengan orang yang dah mati.” Lancang sekali isteri keempatnya itu menjawab, kemudian terus beredar meninggalkannya tanpa berkata-kata lagi. Jawapan yang di terimanya itu sungguh menyayat hatinya, bagaikan pisau telah menghiris jantung hatinya.
Kemudian dipanggilnya pula isterinya yang ketiga, "Abang dah curahkan segala kasih sayang Abang pada Maria sepanjang hayat Abang. Dan sekarang Abang sedang sakit menunggu maut saja, sudi tak Maria ikut bersama Abang kedalam kubur untuk temankan Abang?"
"Abang ni dah gila agaknya!" jawab isteri ketiganya dengan tegas bercampur marah. "Hidup ini lebih baik di sini. Didalam dunia ni. Bukannya dalam kubur! Maria akan berkahwin lagi setelah Abang mati." Hancur lebur perasaan Tuan Zaidi bila mendengar jawapan tersebut.
Tuan Zaidi tidak berputus asa lantas terus memanggil isteri keduanya pula seraya berkata, "Abang selalu mengadu hal kepada Ifah dan minta bantuan Ifah bila Abang ada masalah, dan Ifah pula selalu menolong Abang bila Abang dalam kesusahan. Untuk kali terakhirnya Abang masih perlukan bantuanmu lagi, Ifah.” “Apa dia, cakaplah bang?” Ifah bertanya lembut. Dalam hatinya merasa amat belas sekali melihat penderitaan suaminya yang tersayang itu. “Bila Abang dah mati nanti, boleh tak Ifah ikut bersama Abang kedalam kubur. Boleh Ifah temankan Abang. Taklah kesunyian Abang nanti.”
Mendengar permintaan suaminya itu yang dianggapnya tak masuk akal, Latifah segera menjawab." “Maafkan Ifah bang, kalau selama ini Ifah tidak pernah kecewakan Abang tapi kali ini tidak mungkin Ifah dapat menolong Abang lagi kerana kita hidup sudah berbeza alam. Abang berada dialam kubur dan Ifah pula masih lagi hidup didunia ini. "Paling jauh pun, Ifah Cuma boleh temankan Abang setakat menghantar Abang ke kubur sahaja". Jawapan isteri keduanya itu, datang seperti halilintar yang membelah langit dan Tuan Zaidi merasa sungguh kecewa dengan jawapan yang diberikan oleh ketiga tiga isternya itu.
Dalam kesedihan dan kekecewaannya terhadap jawapan yang diberikan oleh ketiga tiga isterinya itu, dengan tiba-tiba satu suara memanggilnya dan berkata, "Imah akan tinggal bersama Abang. Imah akan ikut kemana saja Abang akan pergi untuk menemani Abang selamanya." Fatimah, isterinya yang pertama itu menyatakan kesanggupannya dengan linangan airmata.
Tuan Zaidi mendongak keatas, dan dilihatnya isteri pertamanya berada di situ. Dia kelihatan amatlah kurus kering, seolah-olah telah lama kebuluran tak makan.
Dengan perasaan yang amat sedih dan kesal sekali, Tuan Zaidi pun berkata, "Kesian Abang tengok Imah. Abang sepatutnya mengambil berat terhadap Imah sewaktu Abang masih sihat dulu! Abang lebih pentingkan isteri isteri Abang yang lain yang langsung tidak berguna lagi ketika Abang sakit ni. Sekarang Abang rasa sudah terlambat Imah…. Sudah terlambat….Abang menyesal !menyesal……..,” luah Tuan Zaidi dengan kuat sekali. Penyesalannya sudah tidak berguna lagi saat itu.
Tiba tiba kata kata itu terhenti….. Tuan Zaidi sudah kembali kerahmatullah dengan perasaan kecewa. Fatimah melaung dengan sekuat hatinya,”Abang, Abang....... maafkan Imah bang, maafkan Imah...Imah tak sempat untuk menjaga Abang disaat saat akhir hidup Abang. Fatimah terus menangis dengan hibanya. Dia begitu kecewa sekali dengan sikap madu madunya yang lain itu. Tidak berperikemanusiaan langsung. Pak Mat yang sejak tadi berdiri disisi Tuan Zaidi turut sama menangis mengenangkan nasib masa depan Tuan Zaidi……
Sejak kematian suami mereka ketiga tiga isteri Tuan Zaidi merasa bebas dari sebarang ikatan. Setelah harta peninggalan Arwah Tuan Zaidi dibahagi bahagikan menurut hukum faraid, isterinya yang kedua, Maria pun berkahwin lain. Manakala Suzanna dan Latifah pula kembali kepangkuan keluarga masing masing.
Tinggallah Fatimah seorang diri di rumah banglo dua tingkat itu bertemankan Pak Mat, drivernya. Fatimah selalu sahaja bersedih sehingga makan, pakainya pun sudah tidak terurus lagi.
Akibat terlalu rindu dan sedih mengenangkan arwah suaminya, akhirnya Fatimah pun meninggal dunia......
GERAM BERCAMPOR BENGANG
Ini adalah sebuah kisah tentang 3 orang profesional, peserta sebuah seminar yang menginap di sebuah hotel Hilton Singapura yang berbintang lima. Mereka bertiga menghadiri seminar Hari Aids Sedunia yang dianjurkan oleh Persatuan Aids Sedunia buat julung julung kalinya.
Mereka bertiga ialah Harris, Jamal dan Karim yang mewakili negeri masing masing. Mereka bertiga menetap di kamar Suite yang mewah di tingkat 21, di mana Hotel Hilton itu sendiri mempunyai 25 tingkat sehingga mencakar langit.Setelah mengikuti seminar yang melelahkan sampai larut malam, mereka pulang kembali ke hotel mereka. Ternyata nasib mereka sungguh malang.
Semua lift di hotel itu mengalami kerosakan teknikal. Ia memerlukan sekurang kurangnya 1 jam untuk diperbaiki.
“Dik..? Kenapa dengan lift ni..? tanya Harris pada budak bellboy itu.
“Entahlah bang. Saya pun tak tahu. Tadi lift tu ok aje. Dengan tiba tiba saja dia rosak”dengan selambanya budak bellboy itu menjawab pertanyaan mereka bertiga seolah olah tidak kuasa nak melayan mereka.
Jam sudah menunjukkan pukul 11.45 malam. Mereka sudah cukup lelah untuk menunggu lagi. Esok, mereka harus bangun pagi pagi untuk jamuan sarapan bersama deligasi deligasi seminar itu. Jamal, sambil melihat jam tangan Titusnya hasil pemberian isterinya Milah itu bertambah resah gelisah.
“Eh!!..Ris? Takkan kita nak tunggu tercegat disini? Aku penat lah…” Jamal merungut kepada Harris dengan reaksi gelisah bercampur kepenatan.
“Betul cakap Jamal tu. Kan besok kita kena bangun pagi. Nanti kalau terlambat apa pulak dia orang cakap.? Aaahhh!!….aku ada satu cadangan. Apa kata kalau kita naik tangga. Alang alang penat, kita penat sekali. Lepas tu boleh gedebaaaappp..tidur.”sampuk siKarim bersahaja.
Harris dan Jamal berfikir sebentar. Karim terus mendonggak keatas, menikmati ukiran ukiran hiasan dinding hotel itu sementara menunggu jawapan rakan rakannya itu. Lalu mereka bertiga sepakat untuk menggunakan tangga darurat untuk menuju ke bilik mereka.
Sambil berjalan menuju pintu tangga darurat, Karim mempunyai cadangan yang baik untuk Harris dan Jamal. Supaya mereka tidak bosan dan lelah nanti naik tangga yang sebegitu banyak sampai tingkat 21.
Karim sarankan “Ris? Apa kata kalau mulai tingkat 1 sampai 8…., kau nyanyiikan sebuah lagu dan sampai tingkat 8 hingga 16, Jamal pulak berpuisi!!..dan seterusnya sampai ke tingkat 16, Aku pulak bercerita.kisah yang lucu lucu atau cerita sedih. Kau orang setuju tak..?? tanya Karim sambil tersengeh melihat rakan rakannya yang sudah mula bosan memandang tangga tangga hotel lima bintang itu.
Harris dan Jamal memandang kearah Karim. Ada ada saja idea dan cadangan siKarim ini. Munasabah pulak cadangannya itu. Memandangkan mereka tidak mahu rasakan menderita kepenatan, secara sebulat suara mereka berdua bersetuju akan saranan siKarim itu.
”OK-lah daripada nanti kita bosan! Lebih baik kita nyanyi,puisi dan cerita cerita.” Mengeluh Harris dengan fikiran yang buntu. Dengan berat hati mereka bertiga mula menaiki tangga hotel itu. Tibalah giliran Harris untuk menyanyikan sebuah lagu. Harris pun mula menyanyi....liriknya..
Beginilah nasib diriku
yang malang Oh Tuhan,
Tak boleh bersenang lenang.
Berkerja sekejap,
Dirundunglah malang,
Ditimpa kesusahan,
Naik tangga, Naik tangga…Naik tangga…
“Ehhh..Ris apa punya lagulah kau nanyi ni? Orang tengah penat penat ni nyanyi lagu sedih pulak. Lepas tu liriknya kau tukar. Pandai pandai aje kau ni ye....? tanya Jamal. Sambil berkata kata dalam hatinya “Sedap pula siHarris ini bernyanyi. Ada suara pula. Seakan akan suara penyanyi P. Ramle. Lepas tu liriknya diubah kena pada masa keadaan dan tempatnya. Ada bakat.” Terlayang sedikit fikiran Jamal seketika.
“Aaahhh....sekarang kau punya giliran pula. Jangan nak kata orang aje..” sergah Karim pada Jamal yang tengah melayang itu. Tersentak dibuatnya. Mereka dah tiba ditingkat 8.
Sekarang tibalah pula giliran Jamal untuk berpuisi. Harris dan Karim ingin mendengar puisi Jamal sebab mereka kenal akan rakannya itu yang berjiwa romantis. Jamal tanpa berlengah lagi pun berpuisi..
Merentasi malam gelap gelita
Sunyi dan sepi bermahajarela
Aku berjalan bersama kawanku
Muram dan suram menrentangi jalananku
Detik detik yang ku lalui
Mengenang esok harus dijelajari
Esok kembali, kembalilah malam
Usah kau lenyap dalam kelam
“Wahh...clap..clap..clap(Harris dan Karim bertepuk tangan sambil ketawa gembira) bravo..bravo.. puisi sastera baik siiiiiiiih, macam A.Samad Said. Dari mana kau dapat puisi ni Mal..? Karim bertanya dengan begitu ghairah sekali.
“Emm.. aku baru dapat idealah! Malam gelap macam ni, naik tangga pulak tu. Dapat idealah.” Jawab Jamal sambil berseloroh kepada rakan rakannya itu.
Tanpa disedari,mereka bertiga sudah pun sampai ke tingkat 16. Segala perasan penat dan lelah Harris, Jamal dan Karim sudah tiada lagi dek dilambung suasana nyanyian dan puisi yang mereka kecapi sehingga tanpa disedari yang mereka sudah hampir ke penghujung perjalanan arah ke kamar mereka.
Tidak sia sia Harris dan Jamal secara sebulat suara menerima cadangan siKarim itu. Harris dan Jamal amatlah berterimakasih kepada Karim dalam saat saat kebuntuan fikiran mereka, tiba tiba saja Karim dapat membuahkan idea idea yang baik dan bernas.
Akhirnya tibalah giliran Karim untuk mulai ceritanya. Sambil tangan kanannya menyelok kocek seluarnya, tangan kirinya mengaru garu kepalanya.
“Errr.... aku tak pasti cerita ini cerita sedih ke atau cerita lucu. Kau orang fikirlah yee? Karim mula merasa takut dan gementar manalah tahu kalau rakan rakannya marah padanya. Melihat reaksi Karim itu, Harris dan Jamal merasa ada sesuatu yang tak kena pada Karim.
“Ceritanya begini. Ris..Mal... Aku terlupa nak bawa kunci bilik kita yang tertinggal di kereta tu Ris, Mal….Jangan marah yee? ”Karim pun lari lintang pukang meluru naik tangga takut dimarahi rakan rakannya.
Harris dan Jamal geram bercampur bengang. Mereka kejar siKarim itu dan memekik
“Oiii.....Karim nanti..nanti...jaga kau..!!!”