Sunday, June 3, 2007

kewarganegaraan eTc

Mencermati Isi Rancangan UU Kewarganegaraan

Perkawinan campuran telah merambah seluruh pelosok Tanah Air dan kelas masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan, dan transportasi telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang Indonesia.
Menurut hasil survei online yang dilakukan Indo-MC tahun 2002, dari 574 responden yang terjaring, 95,19 persen adalah perempuan warga negara Indonesia (WNI) yang menikah dengan pria warga negara asing (WNA).
Angka terbesar adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah/kuliah, dan sahabat pena. Perkawinan campur juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara lain.
Di lain pihak, Kantor Catatan Sipil (KCS) DKI Jakarta mencatat 878 perkawinan selama tahun 2002 sampai tahun 2004 dan 94,4 persennya adalah perempuan WNI yang menikah dengan pria WNA (829 pernikahan). Angka tersebut belum termasuk pernikahan di KUA yang tidak didaftarkan di KCS dan di seluruh Tanah Air.
Perempuan WNI adalah pelaku mayoritas kawin campur, tetapi hukum di Indonesia yang berkaitan dengan perkawinan campuran justru tidak memihak perempuan. Salah satunya adalah UU Nomor 62 Tahun 1958 tentang kewarganegaraan telah menempatkan perempuan sebagai pihak yang harus kehilangan kewarganegaraan akibat kawin campur (Pasal 8 Ayat 1) dan kehilangan hak atas pemberian kewarganegaraan pada keturunannya.
Selama ini perbedaan kewarganegaraan antara anak dan ibu dalam perkawinan campur telah melahirkan berbagai kesulitan bagi perempuan WNI. Katakanlah ia harus mengurus izin tinggal anaknya dengan visa kunjungan sosial/budaya, maka biaya yang timbul dari proses itu adalah biaya permohonan visa, perjalanan ke luar Indonesia untuk mengambil visa, menunggu prosesnya selama dua hari kerja (ada biaya hotel, transportasi, visa), melaporkan kedatangan, perpanjangan visa setiap bulan, pelaporan orang asing, setelah enam bulan mengajukan permohonan izin tinggal baru, dan perjalanan ke luar Indonesia lagi selama tiga hari.
Jika keberadaan anak WNA tidak pernah dilaporkan karena ketidaktahuan atau karena tidak mampu, maka pilihannya adalah membayar denda overstay, anak dideportasi, atau dalam UU Keimigrasian dikenai pidana dengan tuduhan ”menyembunyikan” orang asing ilegal.
Bagi perempuan WNI yang tinggal di negara suami, perbedaan kewarganegaraan dengan anak memaksa mereka untuk mengubah kewarganegaraan agar memperoleh perlindungan hukum. Apabila terjadi perpisahan karena perceraian atau kematian, maka ia bisa tinggal bersama anaknya.
Kan enak bisa dapat kewarganegaraan asing? Begitu biasanya komentar masyarakat, tetapi semudah itukah membuat keputusan menanggalkan kewarganegaraan Indonesia?
Seorang anggota Indo-MC menulis di mailing list, semakin dekat ia pada keputusan untuk mengubah kewarganegaraan, semakin cinta ia pada paspor hijaunya.
Kewarganegaraan bukan sekadar paspor, tetapi menyangkut hak sipil, ekonomi, politik, sosial, dan kultural di Tanah Air yang ingin dia jaga. Selain itu, mengubah status kewarganegaraan menjadi sama dengan suami dan anak bukannya tanpa risiko, karena di negara tertentu kehilangan kewarganegaraan pada suami akan berpengaruh terhadap istri yang bisa menyebabkan statusnya menjadi stateless atau tanpa kewarganegaraan.
Setengah hati
Pasal yang menyangkut anak yang lahir dari perkawinan campuran telah mengalami sedikit perubahan dalam RUU, yaitu anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa memperoleh kewarganegaraan dari ayah atau ibunya yang ditetapkan melalui perjanjian pranikah.
Menurut saya, pasal tersebut menunjukkan perubahan setengah hati karena ada syarat yang harus dipenuhi perempuan untuk memberikan status kewarganegaraan kepada anak, yaitu membuat perjanjian pranikah.
Syarat perjanjian pranikah potensial untuk melahirkan masalah baru, yaitu timbul biaya notaris dan masalah akses informasi serta layanan hukum untuk membuat perjanjian pranikah bagi perempuan yang tinggal di pelosok atau perempuan yang berpendidikan rendah. Selain itu, menutup kemungkinan bagi perempuan yang telanjur menikah dengan WNA yang ingin menjadikan anaknya WNI.
Untuk mengantisipasi perubahan sosial yang cukup pesat, RUU Kewarganegaraan diharapkan lebih lentur dalam masalah bipatrid apabila menyangkut perlindungan warga negaranya, misalnya anak bisa mewarisi kewarganegaraan ayah dan ibunya. Dalam hal ini bisa dipertimbangkan kebijakan kewarganegaraan Jerman, yaitu memberikan dua kewarganegaraan pada anak sampai usia 18 tahun dan memberi waktu lima tahun untuk memilih satu kewarganegaraan saja. Jadi, sebelum anak tersebut berulang tahun ke-23, ia harus memutuskan kewarganegaraan mana yang akan ia pegang.
Saya pikir Indonesia bisa mengadopsi kebijakan yang sama dengan konteks berbeda, yaitu untuk melindungi keluarga kawin campur. Dengan demikian, masalah status anak yang selama ini dilematis bagi perempuan dapat diminimalisasi.
Nuning Hallett Mantan Ketua Asia-Pasifik (2002-2003) Indonesian Mixed-Couple Club (Indo-MC)

No comments: